Ilmu Menurut Ibn Arabi

Oleh: Dr. Haidar Bagir      

 Meski lebih sering menyamakan, Ibn ’Arabi menyebut pengetahuan sebagai ’ilm atau ma’rifah.

Yang terakhir ini biasanya lebih sering dipakai dalam hubungannya dengan pengetahuan spiritual, pengetahuan ketuhanan, atau pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu. Ma’rifah adalah ilmunya para ’arif, orang-orang yang telah sampai pada tingkat mengalami, bukan hanya mengetahui. Yakni, ’ulama yang bukan hanya tahu karena belajar, melainkan karena praktik (suluk). Inilah ilmunya orang-orang yang berakhlak dengan akhlak Allah. Ilmunya kaum sufi. Dengan demuikian, tasawuf adalah praktik-praktik membersihkan hati, melalui mujahadah dan riyadhah, demi meraih ma’rifah ini.

Menurut Ibn ’Arabi, ada tiga klasifikasi pengetahuan. Pertama adalah pengetahuan rasional Obyeknya: hal-hal yang rasional (ma’qulat). Pengetahuan terbagi ke dalam yang di­peroleh dengan segera (langsung) – secara intuitif[1] — atau melalui penerapan prosedur berfikir logis (istidlal), baik secara independen, maupun bersandar pada pengamatan (observasi) atas barang bukti tertentu.

Jenis pengetahuan yang kedua adalah kesa­daran akan keadaan-keadaan (ahwal). Tidak ada jalan untuk memperoleh dan mengomunikasikan ke­­adaan-keadaan ini selain ‘merasakannya sendiri’. Ini disebut pengetahuan eksperiensial (berasal dari kata ‘experience’, dalam makna peng­alaman) atau dzawqi. Seorang rasionalis tak bisa mendefi­nisikan keadaan-keadaan ini, dan akal juga tak bisa dijadikan sandaran untuk membukti­kan kebenaran keadaan-keadaan ini. Sebagai contoh, manisnya rasa madu, pahitnya sari cendana, nikmatnya hubungan seksual, cinta, perasaan gembira, bahagia, perasaan rindu, dan lain-lain semacam­nya adalah keadaan-keadaan yang tak mungkin diketahui oleh siapa pun kecuali dengan cara mengalami atau merasakan keadaan-keadaan tersebut.

Jenis pengetahuan yang ketiga adalah penge­tahuan tentang yang gaib (‘ilm al-asrâr). Ini adalah bentuk pengetahuan intelektual yang transenden; yang diraih melalui wahyu atau ilham dari ruh suci (rûh al-quds, terkadang disamakan dengan Malaikat Jibril) ke dalam pikiran. Para nabi dan orang suci dianugerahi hak istimewa pengetahuan ini. Selain disebut kasyf ataumukasyafah, kejadian mengetahui pengetahuan jenis ini disebyt juga sebagai musyahadah ataufath. Ilmu jenis inilah yang dimaksud dalam hadis (?) yang sering dikutip kaum sufi :”Ilmu adalah cahaya yang Allah sinarkan ke dalam hati siapa saja yang Dia kehendaki.” Meski dayanya juga disebut dengan dzawq, khusus untuk ilmu tentang hal-hal gaib ini dayanya juga disebut bashirah (mata-batin)

Pengetahuan ini, pada gilirannya terdiri dari dua jenis:

Jenis yang pertama adalah pengetahuan yang bisa diterima dan diraih oleh akal. Ini sama dengan pengetahuan dari klasifikasi pertama karena bersifat intelektual, kecuali bahwa orang yang mengetahui dalam hal ini tidak memperoleh pengetahuannya melalui akal, tetapi me­rupa­kan tingkat pengetahuan luhur, yang tersingkap baginya. Jenis yang kedua dibagi menjadi dua bagian lagi. Salah satunya dikait­kan dengan klasifikasi yang kedua, yaitu pe­nge­tahuan dengan merasakan sendiri, tetapi dengan derajat yang lebih tinggi dan kualitas yang lebih mulia. Yakni, obyeknya bukan sekadar fisik atau psikologis, melainkan ruhani. Sedangkan, yang satunya lagi adalah pengetahuan yang disejajarkan dengan pengetahuan deskriptif—yakni me­rupa­kan pengungkapan pengetahuan eksperiensial dengan menggunakan bahasa (’lm al-akhbar). Karena keterbatasan bahasa dan ketakterbatasan pengalaman  spiritual maka pengetahuan deskriptif ini – meski pengalaman tak bisa salah — rentan terhadap kemung­kinan benar-salah. Adalah kebenaran dan keterjagaan (‘ishmah) penuturlah — yakni penutur pengetahuan des­kriptif itu — yang me­nentu­kan kesahihannya.”4

Pengetahuan tentang yang gaib” (‘ilm al-asrâr) berlawanan dengan pengetahuan repre­sentasional fenomenal (empiris) —yakni pengetahuan yang terjadi oleh representasi forma (shurah) obyek dalam pikiran peng­amat. Dia bukan dicari lewat proses berfikir biasa (muktasab), melainkan diberi (mawhub) oleh Allah. Inilah yang terkadang disebut  atau, dalam istilah al-Qur’an, ‘ilm ladunni. [Islam-Indonesia]

Sumber: http://islam-indonesia.com/2012-05-03-08-07-53/2012-05-03-08-08-43/tasawwuf/105-ilmu-menurut-ibn-arabi


[1] Catatan kaki HB : Istilah “intuisi” sering dipakai dalam 2 makna. Pertama, dalam makna daya unutuk merasa secara batin, yakni sebagai terjemahan dari istilah dzawq (cita-rasa batin). Kedua, dalam makna kemampuan mengambil esimpulan logis secara langsung dan segera. Tidak seperti yang disebut pertama, yang terakhir ini masih masuk dalam klasifikasi prosedur berfikir ligis. Hanya saja, jika dalam prosedur biasa diperlukan proses menyusun silogisme (premis mayor, premus minor, dan kesimpuan), dalam cara berfikir intuitif jenis ini, orang dapat langsung menangkap kesimpulan tanpa harus menyusun premus-premus tersebut.

Leave a comment