Beberapa Perumpamaan Lain (Lanjutan Ketunggalan Wujud Ibn ‘Arabi)

Oleh: Haidar Bagir

 Untuk menjelaskan konsep-konsep wahdah al-wujûd Ibn ‘Arabî yang terkesan abstrak pada seri tulisan Ibn Arabi sebelumnya, selanjutnya akan dipaparkan ber­bagai perumpamaan lain yang dipakai oleh para filosof-mistik penganut paham ini.

Yang pertama diungkapkan oleh Haidar ‘Amuli da­lam bentuk perumpamaan “tinta dan huruf-huruf yang ditulis oleh tinta-tinta itu.” Huruf-huruf yang ditulis oleh tinta pada hakikatnya tak pernah wujud sebagai huruf-huruf. Karena huruf pada hakikatnya adalah berbagai bentuk dari (adanya) tinta yang dibentuk berdasarkan ke­sepakatan. Keberadaan huruf-huruf itu pada hakikat­nya tak lain dan tak bukan adalah keberadaan tinta. Cara me­lihat yang benar adalah, pertama, melihat ke­ber­­­­ada­an tinta di semua huruf itu dan, kemudian, me­lihat huruf-huruf itu sebagai berbagai modifikasi (per­ubah­an bentuk) dari tinta yang dipakai.

Perumpamaan yang lain, tentang “samudra dan gelombang-gelombangnya” diungkapkan oleh Jami’ dalam syairnya di bawah ini:

Wujud adalah samudra

Dengan gelombang-gelombang yang menggelegak

Tentang samudra itu orang awam

Tak melihat apa-apa kecuali gelombang-gelombang

Menurut Haidar ‘Amuli, samudra, selama ia adalah sa­mudra, tak pernah dapat memisahkan-diri dari ge­lombang-gelombang. Tak pula gelombang bisa memi­sahkan diri dari samudra. Gelombang—sesungguhnya juga sungai—tak lain adalah “pengungkapan” samudra ke dalam bentuk gelombang dan sungai. Selanjutnya, bisa dikatakan bahwa gelombang-gelombang dan su­ngai-sungai bukanlah samudra, tapi di sisi lain kese­mua­nya itu sesungguhnya satu saja, yakni samudra. “Samudra,” kata ‘Amuli, “jika ditetapkan (bentuknya) sebagai gelombang, disebut gelombang. Jika ditetap­kan dalam bentuk sungai, ia menjadi sungai. Dengan cara yang sama, samudra bisa disebut sebagai salju, hujan, es, dan sebagainya. Tapi dalam hakikatnya, sama sekali tak ada sesuatu yang lain kecuali samudra.”

Selain perumpamaan-perumpamaan di atas, masih terdapat perumpamaan-perumpamaan lain seperti per­umpamaan “bayangan dan cermin”, dan perumpa­ma­an “angka satu dan angka-angka lainnya,” yang, pada dasarnya, merupakan pengulangan (berkali-kali) atau pelipatgandaan dari angka satu itu.

Tapi, untuk menutup pembahasan ini, saya akan mengungkapkan suatu perumpamaan terakhir, yakni perumpamaan suatu objek dengan bayangannya. Ber­beda dengan perumpamaan-perumpamaan sebelum ini, perumpamaan “bayangan” ini dapat dikatakan bu­kan sekadar perumpamaan. Lebih dari itu, ia merupakan makna metaforik dari wahdah al-wujûd itu sendiri.

Menurut metafora ini, dunia-ciptaan adalah ba­yang­an Allah yang tercipta ketika cahaya (nur) Allah menerpa arketipe ( al-a’yan al-tsabitah)—yakni bentuk ideal dan non­­material segala sesuatu, yang terdapat di ‘Martabat Wahidiyah Allah Swt. (lihat judul-judul “Hirarki Wujud” dan “Al-A’yan al-Tsabitah” setelah ini) prapenciptaan, yang atas-(“ce­­takan”)-nya semua ciptaan-konkret diciptakan. Dari sini terciptalah bayangan-bayangan, yakni ciptaan-ciptaan di alam semesta.

Nah, sebagaimana bayangan yang kita temui di dunia sebagai hasil terpaan sinar matahari atas obyek yang jauh (dari matahari sebagai sumber cahaya) akan menjadikan bayangan obyek itu amat kecil dan hitam, maka bayangan (yakni, ciptaan}akan tampak (tak ter­­kira) kecil dan hitam akibat jauhnya jarak antar Allah sebagai sumber cahaya wujud kepada arketipe. Hal ini juga menunjukkan betapa kemampuan kita untuk mengetahui Allah—lewat bayangan-Nya be­rupa dunia-ciptaan-Nya itu—amat terbatas. “Detail-detail” tak per­nah bisa dibaca lewat bayangan. Paling jauh yang bisa kita lihat adalah silhouette-nya saja.

Lagi-lagi, metafora dunia-ciptaan sebagai bayangan Allah ini menunjukkan bahwa, di satu sisi, dunia cipta­an dan Sumber-ciptaan itu tak pernah terpisah. Ba­yang­an selalu ada selama ada objek dan ca­haya (Allah). Dan ia selalu terkait—untuk tak me­nyebut menyatu—dengan sumber itu. Tapi, di sisi lain, bayangan bukanlah objek itu sendiri. Bukan hanya ia bersifat “semu”, keberadaannya sepenuhnya bergan­tung pada keberadaan objek itu.

Akhirnya, perlu dijelaskan bahwa, setinggi apa pun stasiun (maqâm) seseorang dalam perjalanan-ru­haniahnya, ia tak akan mampu memahami Allah Swt. secara keseluruhan. Ada “aspek-aspek” Allah yang tak akan pernah bisa dicapai manusia. Menurut para pemikir wahdah al-wujûd ini, “aspek-aspek” Allah secara me­nurun meliputi:

Ahadiyyah (ke-Tunggal-an), yakni Zat Allah itu sen­diri (dzât al-wujûd )—mungkin inilah yang oleh suatu tradisi kenabian disebut sebagai berada di balik ke­mam­puan manusia untuk memikirkannya (“Berpikirlah tentang ciptaan Allah, dan bukan tentang Allah itu sen­­diri.” ). Aspek berikutnya adalah Wâhidiyyah (ke-Satu-an). Per­hati­kan bahwa tidak seperti makna kata “tunggal” atau “esa” yang sudah tak bisa “dikutak-katik” lagi, angka “satu”—lewat manipulasi aritmetika—bisa menjadi dua, atau seratus, atau semiliar, atau juga se­­tengah, sepersejuta dan seterusnya jika digandakan atau di­bagi-bagi. Pada “aspek” inilah, Allah yang Satu mema­ni­fes­tasikan dirinya ke dalam multiplisitas. Inilah “as­pek” terjauh yang bisa diketahui manusia.

Bahkan beberapa pemikir, seperti Dawud Qaisari (1350) dan Al-Jili, beranggapan bahwa di atas Ahadiyyah masih ada “aspek” Allah yang lebih tinggi, yakni apa yang biasa disebut sebagai kegaiban dari Kegaiban-kegaiban Allah (Ghaib al-ghuyûb).

Ibn ‘Arabî sendiri—dan para penganut paham ke­satuan wujud yang lain—secara tegas mengungkapkan bahwa, sebagaimana penyifatan Allah sebagai tran­sendental (terpisah dari segala sesuatu selain-Nya) saja tidak lengkap, penyifatannya sebagai semata-mata ima­­nen (menyatu dengan segala sesuatu selain-Nya) juga tidak benar. Allah, menurut paham kesatuan wujud, harus dipahami sebagai bersifat kedua-duanya—atau, masing-masing, tanzîh dan tasybîh, dalam istilah as­li­nya.

Dalam kata-kata Ibn ‘Arabî sendiri:

“Dia Ada, dan bagi-Nya tak ada ‘sebelum’, tak  ‘se­te­lah’, tak juga ‘di atas’ ataupun ‘di bawah’, tak ada ‘dekat’ tak pula ‘jauh’, tak ‘penyatuan’ tak juga ‘per­pisahan’, tak ada ‘bagaimana’ tak ada ‘di mana’ tak juga ‘kapan’, tak ada ‘waktu’, ‘saat’ ataupun ‘zaman’, bagi-Nya tak ada ‘ke-berada-an’ ataupun ‘tempat’. Dan Dia ada sekarang sebagaimana Dia ada di masa lampau. Dia Yang Satu tanpa ke-satu-an dan Sang Tunggal tanpa ke-tunggal-an. Dia tak tersusun dari nama dan yang diberi nama, karena nama-Nya adalah Dia dan yang dinama­kan pun adalah Dia …

Karena itu, pahamilah … Dia tak berada dalam se­suatu dan sesuatu tak berada dalam Dia, baik memasuki maupun keluar (dari-Nya). Adalah penting bagimu untuk mengetahui-Nya dengan cara ini, bukan melalui pe­nge­tahuan, bukan melalui akal, bukan melalui pema­ham­an, bukan imajinasi, indra, dan bukan pula melalui persepsi (lainnya—HB). Tak ada yang bisa me­lihat-Nya kecuali diri-Nya sendiri, tak pula memper­sepsi-Nya ke­cuali Dia sendiri. Dengan Diri-Nya Dia melihat Diri-Nya, dan dengan Diri-Nya Dia mempersepsi Diri-Nya. Tak ada yang melihat-Nya kecuali Diri-Nya sen­diri, dan tak ada yang mempersepsi-Nya kecuali Diri-Nya sendiri .…” [Islam-Indonesia]

Sumber : http://islam-indonesia.com/2012-05-03-08-07-53/2012-05-03-08-08-43/tasawwuf/321-beberapa-perumpamaan-lain-lanjutan-ketunggalan-wujud-ibn-arabi

Leave a comment